Sabtu, 23 Mei 2009

auger mining










Sebuah tambang dengan metode tambang terbuka suatu saat akan mencapai yang namanya pit limit, yaitu suatu batasan di mana suatu tambang sudah tidak ekonomis lagi dioperasikan dengan tambang terbuka.

Hal ini disebabkan karena striping rationya tinggi. Dalam hal ini perbandingan antara bahan galian yang akan diambil dengan lapisan tanah penutupnya terlalu besar. Sehingga biaya untuk pengupasan lapisan penutup sangat besar tidak dapat ditutup dengan hasil bahan galiannya. Untuk masalah tersebut biasanya para ahli langsung mengambil keputusan dengan beralih ke metode tambang bawah tanah. Sebenarnya sebelum memutuskan untuk beralih ke metode tambang bawah tanah, ada satu alternatif lain yaitu "Auger Mining'.

Apakah yang disebut Auger Mining tersebut? Auger Mining adalah suatu metode penambangan yang dilakukan dengan menambang bahan galian (dalam hal ini batubara) di dinding-dinding open pit yang sudah mencapai ultimate pit limit. Sehingga nantinya akan membentuk lubang-lubang di dinding. Sepintas memang mirip dengan tambang-tambang batubara liar. walau bagaimanapun ini adalah salah satu alternatif dari metode penambangan. Untuk di Indonesia, yang pernah melakukan metode penambangan ini adalah PT. Indominco di Kalimantan.

(Redaksi)

blasting introduction


 

Bahan peledak
Bahan peledak yang dimaksudkan adalah bahan peledak kimia yang didefinisikan sebagai suatu bahan kimia senyawa tunggal atau campuran berbentuk padat, cair, atau campurannya yang apabila diberi aksi panas, benturan, gesekan atau ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia eksotermis sangat cepat dan hasil reaksinya sebagian atau seluruhnya berbentuk gas disertai panas dan tekanan sangat tinggi yang secara kimia lebih stabil.

Panas dari gas yang dihasilkan reaksi peledakan tersebut sekitar 4000° C. Adapun tekanannya, menurut Langerfors dan Kihlstrom (1978), bisa mencapai lebih dari 100.000 atm setara dengan 101.500 kg/cm² atau 9.850 MPa (» 10.000 MPa). Sedangkan energi per satuan waktu yang ditimbulkan sekitar 25.000 MW atau 5.950.000 kcal/s. Perlu difahami bahwa energi yang sedemikian besar itu bukan merefleksikan jumlah energi yang memang tersimpan di dalam bahan peledak begitu besar, namun kondisi ini terjadi akibat reaksi peledakan yang sangat cepat, yaitu berkisar antara 2500 - 7500 meter per second (m/s). Oleh sebab itu kekuatan energi tersebut hanya terjadi beberapa detik saja yang lambat laun berkurang seiring dengan perkembangan keruntuhan batuan.

2. Reaksi dan produk peledakan
Peledakan akan memberikan hasil yang berbeda dari yang diharapkan karena tergantung pada kondisi eksternal saat pekerjaan tersebut dilakukan yang mempengaruhi kualitas bahan kimia pembentuk bahan peledak tersebut. Panas merupakan awal terjadinya proses dekomposisi bahan kimia pembentuk bahan peledak yang menimbulkan pembakaran, dilanjutkan dengan deflragrasi dan terakhir detonasi. Proses dekomposisi bahan peledak diuraikan sebagai berikut:

a) Pembakaran adalah reaksi permukaan yang eksotermis dan dijaga keberlangsungannya oleh panas yang dihasilkan dari reaksi itu sendiri dan produknya berupa pelepasan gas-gas. Reaksi pembakaran memerlukan unsur oksigen (O2) baik yang terdapat di alam bebas maupun dari ikatan molekuler bahan atau material yang terbakar. Untuk menghentikan kebakaran cukup dengan mengisolasi material yang terbakar dari oksigen. Contoh reaksi minyak disel (diesel oil) yang terbakar sebagai berikut:
CH3(CH2)10CH3 + 18½ O2 ® 12 CO2 + 13 H2O

b) Deflagrasi adalah proses kimia eksotermis di mana transmisi dari reaksi dekomposisi didasarkan pada konduktivitas termal (panas). Deflagrasi merupakan fenomena reaksi permukaan yang reaksinya meningkat menjadi ledakan dan menimbulkan gelombang kejut shock wave) dengan kecepatan rambat rendah, yaitu antara 300 – 1000 m/s atau lebih rendah dari kecep suara (subsonic). Contohnya pada reaksi peledakan low explosive (black powder)sebagai bagai berikut:
v Potassium nitrat + charcoal + sulfur
20NaNO3 + 30C + 10S ® 6Na2CO3 + Na2SO4 + 3Na2S +14CO2 + 10CO + 10N2
v Sodium nitrat + charcoal + sulfur
20KNO3 + 30C + 10S ® 6K2CO3 + K2SO4 + 3K2S +14CO2 +10CO + 10N2

c) Ledakan, menurut Berthelot, adalah ekspansi seketika yang cepat dari gas menjadi bervolume lebih besar dari sebelumnya diiringi suara keras dan efek mekanis yang merusak. Dari definisi tersebut dapat tersirat bahwa ledakan tidak melibatkan reaksi kimia, tapi kemunculannya disebabkan oleh transfer energi ke gerakan massa yang menimbulkan efek mekanis merusak disertai panas dan bunyi yang keras. Contoh ledakan antara lain balon karet ditiup terus akhirnya meledak, tangki BBM terkena panas terus menerus bisa meledak, dan lain-lain.

d) Detonasi adalah proses kimia-fisika yang mempunyai kecepatan reaksi sangat tinggi, sehingga menghasilkan gas dan temperature sangat besar yang semuanya membangun ekspansi gaya yang sangat besar pula. Kecepatan reaksi yang sangat tinggi tersebut menyebarkan tekanan panas ke seluruh zona peledakan dalam bentuk gelombang tekan kejut (shock compression wave) dan proses ini berlangsung terus menerus untuk membebaskan energi hingga berakhir dengan ekspansi hasil reaksinya. Kecepatan rambat reaksi pada proses detonasi ini berkisar antara 3000 – 7500 m/s. Contoh kecepatan reaksi ANFO sekitar 4500 m/s. Sementara itu shock compression wave mempunyai daya dorong sangat tinggi dan mampu merobek retakan yang sudah ada sebelumnya menjadi retakan yang lebih besar. Disamping itu shock wave dapat menimbulkan symphatetic detonation, oleh sebab itu peranannya sangat penting di dalam menentukan jarak aman (safety distance) antar lubang. Contoh proses detonasi terjadi pada jenis bahan peledakan antara lain:

v TNT : C7H5N3O6 ® 1,75 CO2 + 2,5 H2O + 1,5 N2 + 5,25 C
v ANFO : 3 NH4NO3 + CH2 ® CO2 + 7 H2O + 3 N2
v NG : C3H5N3O9 ® 3 CO2 + 2,5 H2O + 1,5 N2 + 0,25 O2
v NG + AN : 2 C3H5N3O9 + NH4NO3 ® 6 CO2 + 7 H2O + 4 N4 + O2

Dengan mengenal reaksi kimia pada peledakan diharapkan peserta akan lebih hati-hati dalam menangani bahan peledak kimia dan mengetahui nama-nama gas hasil peledakan dan bahayanya.

3. Klasifikasi bahan peledak
Bahan peledak diklasifikasikan berdasarkan sumber energinya menjadi bahan peledak mekanik, kimia dan nuklir. Karena pemakaian bahan peledak dari sumber kimia lebih luas dibanding dari sumber energi lainnya, maka pengklasifikasian bahan peledak kimia lebih intensif diperkenalkan. Pertimbangan pemakaiannya antara lain, harga relatif murah, penanganan teknis lebih mudah, lebih banyak variasi waktu tunda (delay time) dan dibanding nuklir tingkat bahayanya lebih rendah. Bahan peledak permissible dalam klasifikasi di atas perlu dikoreksi karena tidak semua merupakan bahan peledak lemah. Bahan peledak permissible digunakan khusus untuk memberaikan batubara ditambang batubara bawah tanah dan jenisnya adalah blasting agent yang tergolong bahan peledak kuat.

Sampai saat ini terdapat berbagai cara pengklasifikasian bahan peledak kimia, namun pada umumnya kecepatan reaksi merupakan dasar pengklasifikasian tersebut.


Menurut R.L. Ash (1962), bahan peledak kimia dibagi menjadi:
Bahan peledak kuat (high explosive) bila memiliki sifat detonasi atau meledak dengan kecepatan reaksi antara 5.000 – 24.000 fps (1.650 – 8.000 m/s)
Bahan peledak lemah (low explosive) bila memiliki sifat deflagrasi atau terbakar kecepatan reaksi kurang dari 5.000 fps (1.650 m/s).

4. Klasifikasi bahan peledak industri
Bahan peledak industri adalah bahan peledak yang dirancang dan dibuat khusus untuk keperluan industri, misalnya industri pertambangan, sipil, dan industri lainnya, di luar keperluan militer. Sifat dan karakteristik bahan peledak (yang akan diuraikan pada pembelajaran 2) tetap melekat pada jenis bahan peledak industri. Dengan perkataan sifat dan karakter bahan peledak industri tidak jauh berbeda dengan bahan peledak militer, bahkan saat ini bahan peledak industri lebih banyak terbuat dari bahan peledak yang tergolong ke dalam bahan peledak berkekuatan tinggi (high explosives).


Sumber : Kursus Juru Ledak Kelas II

undersea mine

Tambang Ikeshima di Jepang merupakan salah satu tambang batubara yang unik di dunia. Bagaimana tidak, tambang ini beroperasi di bawah dasar laut. Sehingga dari segi teknologi tingkat kesulitannya cukup tinggi.


Pulau Ikeshima Lokasinya 256 Ohaza Kamiura Ikeshimakyo, Sotomecho Nishisonogi-gun, Nagasaki Prefecture. Sekitar 7 km ke arah barat di lepas pantai dari pantai barat semenanjung Nishisonogi. Sedangkan ukuran dari pulau tersebut adalah dari Timur-barat 1,5 km, utara-selatan 1,0 km, keliling 4,0 km, luas 0,86 km2. Jumlah konsesi tambang yang dimiliki 70, dengan luas 35.500 ha. Cadangan batu bara tertambang teoritis ±1,7 milyar ton dan Cadangan batu bara tertambang terbukti ±270 juta ton.


Seluruh permukaan pulau ditutupi oleh lapisan konglomerat zaman kuarter dan batuan andesit basalan dari zaman Neogene, serta di bawah permukaan laut terdiri dari lapisan Palaeogene. Dari atas berturut-turut terbagi menjadi formasi Nishisonogi, formasi Matsushima, formasi Terajima dan formasi Akasaki. Batuannya terdiri dari batu pasir dan serpih atau mudstone, di beberapa tempat terdapat sisipan tipis lapisan konglomerat. Batuan alasnya adalah granit atau crystalline schist.

Di bagian atas formasi Matsushima terdapat formasi pembawa batu bara. Lapisan batu baranya terdiri dari lapisan batuan atas, lapisan atas dari lapisan 18 shaku, lapisan bawah dari lapisan 18 shaku, lapisan 3 shaku dan lapisan 4 shaku. Jurus lapisan tanah mengarah kurang lebih ke timur-barat di sekitar Ikeshima dan mengarah kurang lebih ke utara-selatan di sekitar Hikishima. Kemiringannya landai, masing-masing 1~10 derajat ke selatan dan timur. Struktur geologinya relatif stabil.

Untuk ekstraksi batubara, datanya adalah sebagai berikut :
Jalan udara dan gate : panjang gate 400~1000 mMetode ekstraksi batu bara longwall sistem mundurPanjang permuka kerja : 100~180 mPenyanggaan : IS-14 shield type self advancing support, Mesin ekstraksi : 3300V multi motor type (DR-900) drum cutter, 60kw electric haulage (DR-500) double ranging drum cutter, AFC 225kw×2 3300V pole change.

Tambang Ikeshima mulai dibangun tahun 1952 tetapi saat ini telah ditutup dan beralih fungsi menjadi Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tambang Batubara Bawah Tanah. Program alih teknologi ini telah menghasilkan lulusan dari 27 negara, antara lain dari Indonesia, RRC dan Filipina, total lebih dari 420 orang.

the danger of open pit




Environmentalists have raised alarm over a recent recommendation from legislators to allow four mining companies to resume open-pit mining operations in protected forests, citing potential huge losses to the country's biodiversity, toxic waste and the ensuing possible loss of human lives.

""This (the decision) is a disgrace. It only shows, again, its (the House's) lack of commitment for the preservation of our forests,"" Togu Manurung, a professor at the Bogor Institute of Agriculture (IPB) and director of Forest Watch Indonesia (FWI), said at a press briefing here Wednesday.

""Already, we lose more than 2 million hectares of forests each year. It's important that we protect the remainder of our forests, especially the protected ones,"" he said.

The government banned open-pit mining in 1999 because of its grave impacts on the environment and human lives.

Longgena Ginting of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) concurred, pointing out that the benefits from mining operations would not offset the severe damage to the environment and ecosystem.

Both Togu and Longgena insisted that the decision would be so damaging to the environment that any post-reclamation effort to bring the ecosystem back would be almost impossible.

Open-pit mining means massive land clearing within a company's concession area before it can start digging for mining products. This land clearance endangers wildlife and flora in the area and its surroundings.

The tailings, or chemical wastes, are toxic. The long period of mining operations, usually spanning tens of years, would produce huge quantities of toxic waste that can contaminate the surrounding lands, and often the rivers, too.

Open-pit mining also jeopardizes the lives of indigenous people in the areas as they usually have a high level of dependency on the forests. Land clearing activities will deprive the indigenous people of their land and their livelihood, threatening their existence.

""These are the kinds of environmental and social costs that need to be taken into account when making the decision, instead of mere economic considerations that protect the interests of investors,"" Togu said.

Legislators earlier claimed that the four companies had met all the requirements, which included a guarantee to prevent the impacts of their explorations on the environment, to carry out post-exploration reclamation efforts and to comply with the regulation on the amount of deposits they are allowed to procure.

The four companies are PT Gag Nickel on Gag Island, Papua province, PT Weda Bay Nickel in Tabobo, Maluku province, PT Nusa Halmahera in Central Halmahera, Maluku province, and PT Citra Palu Minerals in Palu, Central Sulawesi province.

The companies have been selected from a shortlist of 22 mining companies the government had proposed to the House to be allowed to resume mining operations after being forced to stop following the enactment of Law No. 41/1999 on forestry, which bans open-pit mining operations.

There are some 150 companies that have obtained mining permits for operations in protected forests, covering about one-fifth of protected forest areas, or around 11.4 million hectares across the country.

The recommendation for the four companies was issued by a team comprising members of House Commission III on forestry and agriculture and Commission VIII on energy and mineral resources, and the environment. The team is currently assessing requests from the other 18 companies and will submit the results to Commissions III and VIII. The commissions will then make their decision whether or not to grant the permits.

Togu added that the decision also violated several international conventions on biodiversity and forest conservation and protection.

Indonesia has ratified the Convention on Biodiversity (CBD), agreed to the statement of Forest Principles and has become a member of the United Nations Forest Forum, meaning that Indonesia should be highly committed to these principles.

Article 7 of the CBD stipulates that countries are obliged to prevent negative impacts from forest exploitation activities, while Article 8 states that countries must develop protected areas with the goal of conserving those areas.

Horizontal directional drilling

Horizontal Directional Drilling (HDD)

The Pacific Connector Gas Pipeline project crosses a number of fish bearing streams and areas which may be problematic for conventional pipeline construction. To potentially avoid impacts to these sensitive areas, the HDD construction methodology is being reviewed for feasibility.

The use of the HDD methodology at these locations will be determined in consultation with a number of federal and state agencies including the U.S. Army Corps of Engineers, National Marine Fisheries Service, U.S. Fish and Wildlife Service, Oregon Department of Ecology, Oregon Department of Fish and Wildlife, and Oregon Department of Natural Resources.

What is a Horizontal Directional Drill?
The HDD construction method can be used to install pipelines beneath areas where conventional open trench or other construction techniques may cause undesirable surface disturbance.

The HDD method tunnels beneath surface obstacles and then pulls the pipeline back through the underground tunnel, leaving the surface undisturbed.

The tunnels are typically drilled to depths ranging from 25 to 100 feet below surface obstacles, depending upon the location, pipe characteristics, and subsurface conditions.

The HDD installation involves four main steps:

  • Pre-Site Planning
    Extensive pre-site planning is required to determine if the HDD method is technically and geologically feasible. A topographic survey is performed along the proposed drill site to ensure adequate surface area is available to conduct the drilling process. In addition, a geotechnical investigation is conducted at each drill site to determine the subsurface conditions. Using the data from the geotechnical investigation and topographic survey, a specific drill path is determined.

  • Drilling the Pilot Hole
    Once the entry location, exit location and trajectory have been determined, the next step is the drilling of a pilot hole. The drill rig is set up at the entry location.

    When the drill rig is in place, drilling of a pilot hole begins. At all stages along the drilling path, the operator receives information regarding the position, depth, and orientation of the drilling tool, allowing navigation of the drill head along the designed drill path to the exit point.

  • Hole Opening Process
    Upon completion of the pilot hole, the hole opening or reaming process begins. This process consists of progressively enlarging the pilot hole to a diameter that will allow successful pullback of the prefabricated pipe string.

  • Pipe String Pullback
    A pipe string consists of short sections (approximately 40 feet) of steel pipe which are welded together to form a continuous string of pipe for insertion into the drilled hole. The pipe string is slightly longer than the length of the drilled hole. The pipe string is coated with a layer of corrosion and abrasion resistant protective coatings and hydrostatically pressure tested to insure its integrity. The pipe string is then placed on rollers and cradles to assist with movement during pullback. Next, the pipe string is pulled over the rollers and down into the drilled hole. The pullback continues until the entire length of the pipe string has been pulled into the drilled hole.

  • Environmental and Safety Measures
    Pacific Connector will employ specialists at each HDD installation with a proven record of successful completion for projects of similar length and complexity. One inspector is assigned full-time to each of the HDD sites and will assist in monitoring the progress of the drill. Excess drilling fluids (non toxic bentonite clay and water) and cuttings produced by the HDDs will be disposed of at an approved disposal site. Water, to mix the drilling fluids and complete the pipe string hydrotests, will be brought in from off site and stored in tanks at the entry and exit locations.


k3 dalam blasting process

Beberapa perusahaan pertambangan yang melakukan peledakan untuk menghasilkan fragmentasi batuan overburden, dan menggunakan Nonel sebagai inisiasi systemnya tentu tidak asing dengan istilah misfire. Hal ini berhubungan dengan system Nonel yang tidak mempunyai kontrol terhadap misfire kecuali dengan melakukan penyambungan secara benar dan final check dengan teliti. Dengan kata lain, proses kontrol dilakukan secara fisik oleh seorang juru ledak.

Berbeda bila menggunakan system elektrik ataupun system dengan teknologi muktahir yakni elektronik, misfire dengan mudah dapat dicegah bahkan sebelum blasting mechine ditekan. Kedua system ini memiliki alat untuk mendeteksi apakah sambungan antara surface delay dengan surface delay atau dengan inhole delay telah tersambung dengan benar. Jadi, pada kedua metode ini, misfire yang disebabkan oleh human error tidak tersambung- bisa dicegah sedini mungkin. Adapun bila misfire terjadi pada system ini, boleh jadi dikarenakan oleh hal lain, seperti kegagalan detonator, atau terjadinya kerusakan (putus) setelah pengecekan atau analisa akhir dilakukan.

Mengapa misfire harus dicegah? Misfire yang terjadi mengakibatkan dua hal penting. Pertama berhubungan dengan keselamatan kerja, misfire sangat berbahaya bila terjadi dan tidak diketahui, apalagi bila misfire tidak ditemukan. Bahayanya adalah apabila Nonel, detonator, atau booster terkena oleh alat gali, atau dozer yang mungkin tengah bekerja di lokasi hasil suatu peledakan. Tentu saja fatality dan kerusakan berat pada alat adalah potensi paling tinggi bila lubang misfire meledak dengan sendirinya akibat gesekan, hantaman dari bucket atau blade alat berat tersebut.

Kedua adalah proses loss -kehilangan waktu produktif-, karena dengan terjadinya misfire maka alat-alat produksi harus tetap berhenti bekerja menunggu proses hingga juru ledak dapat mengontrol lubang-lubang misfire tersebut. Keputusan untuk penembakan kedua pada lubang-lubang misfire, tentu semakin menambah hilangnya waktu produksi. Dan bila dihitung, maka dalam semingu, satu bulan, atau setahun, maka kehilangan waktu tidaklah sedikit jumlahnya.

Beberapa tambang-tambang di Indoensia ataupun Australia, masih menggunakan metode yang biasa disebut final check. Metode ini adalah proses pengecekan sambungan antara inhole delay dan surface delay sebelum penembakan (firing) dilakukan. Final check dilakukan oleh satu orang atau lebih, dilakukan dengan berjalan dari baris pertama hingga baris terakhir, mengamati sambungan secara satu persatu. Cara ini cukup effektif bila pelakunya mengerjakannya dengan tenang, teliti, dan benar. Karena kelalaian dalam mengamati sambungan akan berakibat misfire. Juga cara ini cukup efektif bila dilakukan pada jumlah sambungan atau jumlah lubang yang tidak terlalu banyak (100 - 300 lubang). Bagaimana bila lubang ledak berjumlah lebih dari 600 lubang atau lebih?

Data misfire yang disebabkan oleh kegagalan sambungan (unconnected human error) di tambang batubara terbesar di Kaltim menunjukan: pada tahun 2005 telah terjadi 8 kali misfire dari sekitar 400.000 sambungan (1:50.000) dan akhir Agustus 2006 terjadi 9 kali misfire dari 350.000 sambungan (1:38.888). Data misfire ini relatif bagus bahkan bila dibandingkan dengan tambang-tambang di luar negeri yang menggunakan Nonel system yang sama.

Namun demikian hasil continous improvement menunjukan bahwa misfire akibat kegagalan sambungan masih bisa diperkecil atau bahkan ditiadakan. Metode baru pun telah dibuat dan diterapkan sejak September 2006 di tambang tersebut. Metode ini tidak berbeda dengan metode sebelumnya, hanya prinsipnya saja yang berubah.

Pertama, pengecekan sambungan dilakukan oleh orang yang melakukan penyambungan itu sendiri. Tidak dibebankan kepada orang yang melakukan final check seperti pada metode sebelumnya.Konsekuensinya, orang yang melakukan penyambungan haruslah seorang juru ledak yang kompeten dan bertanggungjawab penuh terhadap sambungan yang dibuatnya. Sambungan harus 100% benar sebelum ia melanjutkan untuk menyambung pada lubang berikutnya.

Kedua, memberi tanda pada sambungan sebagai identifikasi bahwa sambungan telah dilakukan dengan benar dan agar mudah dikenali siapa yang melakukannya. Tanda ini meggunakan pita warna. Bila ada tiga orang yang melakukan penyambungan, maka digunakan pita dengan warna berbeda untuk masing-masing orang. Ini sangat membantu pada proses investigasi bila misfire terjadi. Akan mudah diketahui siapa yang melakukan penyambungan di lubang tersebut. Jelas ini berbeda dengan metoda sebelumnya dimana tidak mudah untuk mengetahui siapa yang melakukan sambungan sebelumnya bila misfire terjadi.

Ketiga, final check dengan hanya melihat pita warna pada sambungan dan meletakkan pita warna yg berbeda pada lubang yang telah dilewatinya sebagai tanda bahwa orang kedua telah melihat lubang tersebut telah disambung. Keuntungannya adalah juru ledak dapat melakukan final check dengan cepat dan mudah. Bila juru ledak melihat lubang tanpa pita warna, berarti sambungan belum ada dan dia bisa melakukan sambungan pada lubang tersebut. Oleh karena itu, berapapun jumlah lubang yang akan diledakan, juru ledak akan dengan mudah melakukan final check tanpa terjadi dua kali atau lebih pengecekan pada satu lubang ledak.

Data terakhir dengan melaksanakan medote baru ini menunjukan hanya terjadi sekali misfire dari 187.000 sambungan. Misfire yang terjadipun dapat dengan mudah dideteksi siapa pelaku penyambungan dan dengan demikian mudah pula untuk melakukan langkah-langkah perbaikan, baik terhadap pelaku ataupun system itu sendiri.

(Sumber Majalah Pertambangan)

jarak aman peledakan

Sebuah makalah yang dibuat oleh peneliti dari US Mine Safety and Health Administration pada tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat empat kategori utama kecelakaan kerja yang berhubungan dengan peledakan, yaitu (1) keselematan dan keamanan lokasi peledakan; (2) batu terbang atau flyrock, (3) peledakan premature (premature blasting) dan (4) misfre (peledakan mangkir). Kasus yang terjadi di Adaro merupakan salah satu jenis kecelakaan kerja yang ditenggarai disebabkan oleh arah peledakan (keselamatan peledakan) dan terkena batuan hasil peledakan yang dapat dikategorikan sebagai flyrock (pada jarak yang dekat). Ini merupakan situasi yang masuk akal karena seorang juru ledak memang berada di daerah yang paling dekat dengan pusat kegiatan peledakan.

Hal ini merupakan salah satu contoh perlunya pengetahuan yang lebih mendalam dalam hal blasting management system (system pengaturan atau pengontrolan peledakan) terhadap semua yang terlibat di dalam kegiatan peledakan. Dalam suatu peledakan terdapat banyak hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil peledakan sesuai dengan yang diinginkan oleh tambang yang bersangkutan. Batuan yang diledakkan dalam hal ini bisa berwujud batu bara itu sendiri dan batuan penutup (overburden and interburden). Dalam tambang emas kita mempunyai istilah waste (sampah) dan ore (bijih emas) yang harus diledakkan untuk memudahkan pengangkutan dan pencucian atau proses permurnian bahan galian yang ditambang.
Kegiatan peledakan di tambang merupakan salah satu kegiatan yang dianggap mempunya resiko cukup tinggi. Tapi bukan berarti kegiatan tersebut tidak dapat dikontrol. Proses pemgontrolan kegiatan ini dapat dimulai dari proses pencampuran ramuan bahan peledak, proses pengisin bahan peledak ke lubang ledak, proses perangakain dan proses penembakan. Dalam kasus ini yang memegang peranan penting adalah kontrol terhadap proses penembakan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagi berikut.

- Desain peledakan.

Bagian ini memegang peranan penting dalam mengurangi kecelakaan kerja yang berhubungan dengan aktivitas peledakan. Rancangan peledakan yang memadai akan mengidentifikasi jarak aman; jumlah isian bahan peledak per lubang atau dalam setiap peledakan; waktu tunda (delay period) yang diperlukan untuk setiap lubang ledak atau waktu tunda untuk setiap baris peledakan; serta arah peledakan yang dikehendaki. Jika arah peledakan sudah dirancang sedemikian rupa, juru ledak dan blasting engineer harus berkordinasi untuk menentukan titik dimana akan dilakukan penembakan (firing) dan radius jarak aman yang diperlukan. Ini perlu dilakukan supaya juru ledak memahami potensi bahaya yang berhubungan dengan broken rock hasil peledakan and batu terbang (flyrock) yang mungkin terjadi.

- Training kepada juru ledak.

Hal ini sangat penting dilakukan, karena sumber daya ini memegang peranan penting untuk menerjemahkan keinginan insinyur tambang yang membuat rancangan peledakan. Hal ini sudah diatur dalam Keputusan Menteri, yang mengharuskan setiap juru ledak harus mendapatkan training yang memadai dan hanya petugas yang ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang yang bersangkutan yang dapat melakukan peledakan. Juru ledak dari tambang tertentu tidak diperbolehkan untuk melakukan peledakan di tambang yang lain karena karakterisktik suatu tambang yang berbeda-beda.

Prosedur kerja yang memadai.

Prosedur kerja atau biasa disebut SOP (Safe Operating Procedure) ini memegang peranan penting untuk memastikan semua kegiatan yang berhubungan dengan peledakan dilakukan dengan aman dan selalu mematuhi peraturan yang berlaku, baik peraturan pemerintah maupun peraturan di tambang yang bersangkutan. Prosedur ini biasanya dibuat berdasarkan pengujian resiko (risk assessment) yang dilakukan oleh tambang tersebut sebelum suatu proses kerja dilakukan. Prosedur ini mencakup keamanan bahan peledak, proses pengisian bahan peledak curah, proses perangakaian bahan peledak , proses penembakan (firing) termasuk jarak aman dan clearing daerah disekitar lokasi peledakan.

Jarak aman pada suatu peledakan (safe blasting parameter) saat ini memang tidak mempunyai standard yang dibakukan, termasuk tambang-tambang di Australia. Di dalam Keputusan Menteri-pun, tidak dijelaskan secara detail berapa jarak yang aman bagi manusia dari lokasi peledakan. Hal ini disebabkan oleh setiap tambang mempunyai metode peledakan yang berbeda-beda tergantung kondisi daerah yang akan diledakkan dan tentu saja hasil peledakan yang dikehendaki. Akan tetapi bukan berarti setiap juru ledak boleh menentukan sendiri jarak aman tersebut. Keputusan mengenai keselamatan khususnya jarak aman tersebut berada pada seorang Kepala Teknik Tambang yang ditunjuk oleh perusahaan setelah mendapat pengesahan dari Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang. Di tambang-tambang terbuka di Indonesia, jarak aman terhadap manusia boleh dikatakan hampir mempunyai kesamaan yaitu dalam kisaran 500 meter. Dari mana jarak ini diperoleh? Jelas seharusnya dari hasil risk assessment (pengujian terhadap resiko) yang telah dilakukan di tambang-tambang tersebut.Risk assessment ini tidak saja berbicara secara teknik peledakan dan pelaksaannya, namun perlu juga dimasukkan contoh-contoh hasil perbandingan dari tambang-tambang yang ada baik di dalam ataupun luar negeri. Jarak aman dari hasil risk assessment inilah yang seharusnya menjadi acuan bagi pembuatan prosedur kerja dalam lingkup pekerjaan peledakan di lapangan. Walaupun ada beberapa tambang yang membuat standard yang lebih kecil dari 500 meter; tapi hal itu diperbolehkan sepanjang risk assessment sudah dilakukan dan sudah disetujui oleh Kepala Teknik Tambang yang bersangkutan. Biarpun tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap jarak aman dari peledakan, akan tetapi seorang juru ledak yang kompeten semestinya akan mentaati aturan dan prosedur kerja. Pelanggaran prosedur kerja akan berakibat fatal, baik bagi diri dia sendiri, teman kerja maupun ada perusahaan tempat dia bekerja.


(Sumber Majalah Pertambangan)

Jumat, 22 Mei 2009

penambangan

Merupakan kegiatan yang dilakukan baik secara sederhana (manual) maupun mekanis yang meliputi penggalian, pemberaian, pemuatan dan pengangkutan bahan galian. Beberapa tahapan kegiatan penambangan secara garis besar adalah :
1. Pembabatan (clearing)
2. Pengupasan tanah penutup (stripping)
3. Penggalian bahan galian (mining)
4. Pemuatan (loading)
5. Pengangkutan (hauling)
6. Penumpahan (waste dump)
Factor-faktor dalam pemilihan system penambangan yaitu :
1. Sifat keruangan dari endapan bijih 
a. Ukuran (dimensi : tinggi atau tebal khususnya)
b. Bentuk (tanular, lentikular, massif, irregular)
c. Posisi (miring, mendatar atau tegak)
d. Kedalaman (nilai rata-rata, nisbah pengupasan)

2. Kondisi geologi dan hidrologi
a. Mineralogy dan petrologi (sulfida atau oksida)
b. Komposisi kimia (utama, hasil samping, mineral by product)
c. Struktur endapan (lipatan, patahan, intrusi, diskontinuitas)
d. Bidang lemah (kekar, fracture, cleavage dalam mineral, cleat dalam batubara)
e. Keseragaman, alterasi, erosi
f. Air tanah dan hidrologi

3. Sifat geomekanik
a. Sifat elastic (kekuatan, modulus elastic, koefesien poison)
b. Perilaku plastis atau viscoelastis (flow, creep)
c. Keadaan tegangan (tegangan awal, induksi)
d. Konsolidasi, kompaksi dan kompeten
e. Sifat-sifat fisik yang lain (bobot isi, voids, porositas, permeabilitas, lengas bebas, lengas bawaan)

4. Konsiderasi ekonomi
a. Cadangan (tonnage dan kadar)
b. Produksi
c. Umur tambang
d. Produktifitas
e. Perbandingan ongkos penambangan untuk metode penambangan yang cocok

5. Factor teknologi
a. Perolehan tambang
b. Dilusi (jumlah waste yang dihasilkan dengan bijih)
c. Kefleksibilitas metode dengan perubahan kondisi-kondisi
d. Selektifitas metode untuk bijih dan waste
e. Konsentrasi/penyebaran pekerjaan
Dasar dalam pemilihan metode penambangan yaitu :
1. Stripping Ratio (SR)
Yaitu berapa jumlah waste (tanah buangan baik O/B maupun batuan samping) yang harus dibuang/disingkirkan untuk memperoleh 1 ton endapan bijih sampai pada ultimate pit limit.
SR = BCM OB / Stripping cost (ton coal)
SR = Jumlah Waste (m3/ton) / Jumlah Ore (m3/ton) 
SR > 1 = Ongkos pengupasan lebih kecil (Tamka)
SR > 1 = Ongkos pengupasan lebih besar (Tamda)
SR = 1 = Bisa Tamka/Tamda

2. Break Evevn Stripping Ratio (BESR)
Yaitu perbandingan antara keuntungan kotor dengan ongkos pembuangan O/B.
BESR = Cost Penggalian Bijih / Cost Penggalian OB
Untuk memilih system penambangan digunakan istilah BESR-1 bagi open pit yaitu overall stripping ratio.
BESR-1 > 1 = Tamka
BESR-1 < 1 = Tamda
BESR = 2 = Bisa Tamka/Tamda
Kemudian setelah ditentukan yang dipilih Tamka, maka dalam rangka pengembangan rencana penambangan tiap tahap digunakan istilah economic stripping ratio (BESR-2).
BESR-2 = Recovable Value - Poduction Cost / Stripping Cost 
dalam ton/ore 
BESR-2 untuk menentukan maksimal berapa ton waste yang disingkirkan untuk memperoleh 1 ton ore agar tahap penambangan ini masih memberikan keuntungan (max allowable stripping ratio) dan untuk menentukan batas pit (pit limit).
Konsep pemilihan cara penambangan yaitu :
1. Konsep konsensional atau kedalaman
a. Jika letak endapan bijih dangkal dipilih tamka
b. Jika letak endapan bijih dalam dipilih tamda

2. Konsep ekonomis/keuntungan
a. Cut off grade (COG)
b. Break even stripping ratio (BESR)

Cut off grade (COG) mempunyai dua pengertian yaitu :
1. Kadar endapan bahan galian yang masih memberikan keuntungan apabila endapan ditambang (tidak diperlukan pencampuran endapan bahan galian)
2. Kadar rata-rata terendah dari endapan bahan galian yang masih memberikan keuntungan apabila endapan ditambang (diperlukan pencampuran: mixing/blending)
Cut off grade (COG) akan menentukan batas-batas cadangan sehingga dapat dihitung besar cadangan oleh karena itu akan berakibat umur cadangan makin lama.

System penambangan yang ada pada umumnya adalah :
1. Tambang Terbuka (Surface Mining)
Merupakan suatu system penambangan dimana seluruh aktifitas kerjanya berhubungan langsung dengan atmosfer atau udara luar. Berdasarkan macam material yang ditambang, maka tambang terbuka dibagi menjadi :
a. Open Pit/Open Cut/Open Cast/Open Mine
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan bijih yang mengandung logam. Contoh : Tambang Nikel di Pomalla, Sulawesi Tenggara, mineralnya Garnierite, Tambang Alumunium di Kijang Riau Kepulauan, mineralnya Gibbsite, Boechmite, Diaspore (Bauksite), Tambang Tembaga di Earthberg Irian Jaya, mineralnya Calcophyrite dan Cuprite, Tambang Timah di Pemali Bangka mineralnya Cassiterite, dll.
b. Quarry 
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan mineral industry (golongan C). Contoh : Tambang Batu Pualam di Tulung Agung Jawa Timur batuannya Marmer, Tambang Aspal di Pulau Buton batuannya batu gamping beraspal, Tambang Granit di Pulau Karimun batuannya granit, dll.
c. Strip Mine
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan bijih yang letaknya horizontal atau sedikit miring. Contoh : Tambang Batubara di Tanjung Enim Sumatera Selatan, Tambang Batubara di Ombilin Sawah Lunto Sumatera Barat mineralnya Bituminous Coal, dll.
d. Alluvial Mine
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan alluvial. Contoh : Tambang Bijih Timah di Bangka Belitung mineralnya Cassiterite, Tambang Bijih Besi di Cilacap mineralnya Magnetite, Hematite, Ilmenite, dll.

Berdasarkan cara penambangan yang dilakukan ada beberapa cara pembuangan O/B yang sesuai untuk tambang terbuka yaitu :
a. Back Filling, yaitu menimbun kembali tempat-tempat bekas penggalian yang sudah diambil ore nya.
b. Benching System, yaitu pengupasan O/B dengan system jenjang, system ini cocok untuk tanah penutup yang tebal dan bahan galian atau lapisan batubara yang tebal.
c. Multi Bucket Excavator System, yaitu pembuangan tanah penutup ketempat yang sudah digali batubaranya atau ketempat pembuangan khusus. Cara pengupasan ini mirip dengan cara Bucket Wheel Excavator (BWE), cocok untuk tanah penutup yang materialnya lunak dan tidak lengket.
d. Drag Scrapper System, cara ini biasanya langsung diikuti dengan pengambilan bahan galian setelah tanah penutupnya dibuang, tetapi bisa juga tanah penutupnya dihabiskan terlebih dahulu kemudian baru bahan galiannya ditambang, cocok untuk tanah penutup yang materialnya lunak/lepas (loose).
e. Cara konvensional, kombinasi alat gali (bulldozer), alat muat (track loader) dan alat angkut (dump truck).

2. Tambang Bawah Tanah (Underground Mining)
Suatu system penambangan dimana seluruh aktifitas kerjanya tidak berhubungan langsung dengan udara luar dan kegiatannya dilakukan dibawah tanah dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan bantu (adit). Berdasarkan cara penyanggaannya maka tambang bawah tanah dibagi menjadi :
a. Untuk Batubara
 Longwall Methode, dibagi 2 yaitu cara maju (advancing) dan cara maju (retreating)Ø
 Room and Pillar MethodeØ
b. Untuk Endapan Bijih/Logam
 Open Stope Methode, seperti underground gloryhole, gophering, shrinkage stoping, sublevel stopingØ
 Supported Methode, seperti cut and fill, stull stoping, shrink and full stopingØ
 Caving Methode, seperti top slicing, sub level caving, block cavingØ

Perbandingan antara 2 metode penambangan tersebut adalah :
Tambang Terbuka 
1. Development sedikit
2. Stripping O/B banyak
3. Banyak lokasi untuk dumping area
4. Gangguan pada kemantapan lereng, kelongsoran
5. Kebisingan, polusi debu
6. Keselamatan kerja baik
7. Penggunaan alat lebih leluasa
8. Produktifitas dipengaruhi oleh iklim
9. Kedalaman penggalian dibatasi biaya SR O/B
10. Biaya reklamasi 
Tambang Bawah Tanah
1. Development : Shaft, bukaan-bukaan lain
2. Stripping O/B : Batubara ditambang dari bukaan kearah lapisan batubara
3. Banyak lokasi untuk dumping area : Tidak ada
4. Ambegan (subsident) berakibat pada instalasi diatasnya, gas beracun
5. Daerah terganggu pada sekeliling bukaan
6. Perlu ventilasi dan penerangan
7. Penggunaan alat Tidak leluasa
8. Semakin dalam temperatur naik
9. Kedalaman penggalian Tidak terbatas
10. Perawatan penyanggaan

teknik penambangan

NGGU, 2009 APRIL 05

PENAMBANGAN



Merupakan kegiatan yang dilakukan baik secara sederhana (manual) maupun mekanis yang meliputi penggalian, pemberaian, pemuatan dan pengangkutan bahan galian. Beberapa tahapan kegiatan penambangan secara garis besar adalah :
1. Pembabatan (clearing)
2. Pengupasan tanah penutup (stripping)
3. Penggalian bahan galian (mining)
4. Pemuatan (loading)
5. Pengangkutan (hauling)
6. Penumpahan (waste dump)
Factor-faktor dalam pemilihan system penambangan yaitu :
1. Sifat keruangan dari endapan bijih 
a. Ukuran (dimensi : tinggi atau tebal khususnya)
b. Bentuk (tanular, lentikular, massif, irregular)
c. Posisi (miring, mendatar atau tegak)
d. Kedalaman (nilai rata-rata, nisbah pengupasan)

2. Kondisi geologi dan hidrologi
a. Mineralogy dan petrologi (sulfida atau oksida)
b. Komposisi kimia (utama, hasil samping, mineral by product)
c. Struktur endapan (lipatan, patahan, intrusi, diskontinuitas)
d. Bidang lemah (kekar, fracture, cleavage dalam mineral, cleat dalam batubara)
e. Keseragaman, alterasi, erosi
f. Air tanah dan hidrologi

3. Sifat geomekanik
a. Sifat elastic (kekuatan, modulus elastic, koefesien poison)
b. Perilaku plastis atau viscoelastis (flow, creep)
c. Keadaan tegangan (tegangan awal, induksi)
d. Konsolidasi, kompaksi dan kompeten
e. Sifat-sifat fisik yang lain (bobot isi, voids, porositas, permeabilitas, lengas bebas, lengas bawaan)

4. Konsiderasi ekonomi
a. Cadangan (tonnage dan kadar)
b. Produksi
c. Umur tambang
d. Produktifitas
e. Perbandingan ongkos penambangan untuk metode penambangan yang cocok

5. Factor teknologi
a. Perolehan tambang
b. Dilusi (jumlah waste yang dihasilkan dengan bijih)
c. Kefleksibilitas metode dengan perubahan kondisi-kondisi
d. Selektifitas metode untuk bijih dan waste
e. Konsentrasi/penyebaran pekerjaan
Dasar dalam pemilihan metode penambangan yaitu :
1. Stripping Ratio (SR)
Yaitu berapa jumlah waste (tanah buangan baik O/B maupun batuan samping) yang harus dibuang/disingkirkan untuk memperoleh 1 ton endapan bijih sampai pada ultimate pit limit.
SR = BCM OB / Stripping cost (ton coal)
SR = Jumlah Waste (m3/ton) / Jumlah Ore (m3/ton) 
SR > 1 = Ongkos pengupasan lebih kecil (Tamka)
SR > 1 = Ongkos pengupasan lebih besar (Tamda)
SR = 1 = Bisa Tamka/Tamda

2. Break Evevn Stripping Ratio (BESR)
Yaitu perbandingan antara keuntungan kotor dengan ongkos pembuangan O/B.
BESR = Cost Penggalian Bijih / Cost Penggalian OB
Untuk memilih system penambangan digunakan istilah BESR-1 bagi open pit yaitu overall stripping ratio.
BESR-1 > 1 = Tamka
BESR-1 < 1 = Tamda
BESR = 2 = Bisa Tamka/Tamda
Kemudian setelah ditentukan yang dipilih Tamka, maka dalam rangka pengembangan rencana penambangan tiap tahap digunakan istilah economic stripping ratio (BESR-2).
BESR-2 = Recovable Value - Poduction Cost / Stripping Cost 
dalam ton/ore 
BESR-2 untuk menentukan maksimal berapa ton waste yang disingkirkan untuk memperoleh 1 ton ore agar tahap penambangan ini masih memberikan keuntungan (max allowable stripping ratio) dan untuk menentukan batas pit (pit limit).
Konsep pemilihan cara penambangan yaitu :
1. Konsep konsensional atau kedalaman
a. Jika letak endapan bijih dangkal dipilih tamka
b. Jika letak endapan bijih dalam dipilih tamda

2. Konsep ekonomis/keuntungan
a. Cut off grade (COG)
b. Break even stripping ratio (BESR)

Cut off grade (COG) mempunyai dua pengertian yaitu :
1. Kadar endapan bahan galian yang masih memberikan keuntungan apabila endapan ditambang (tidak diperlukan pencampuran endapan bahan galian)
2. Kadar rata-rata terendah dari endapan bahan galian yang masih memberikan keuntungan apabila endapan ditambang (diperlukan pencampuran: mixing/blending)
Cut off grade (COG) akan menentukan batas-batas cadangan sehingga dapat dihitung besar cadangan oleh karena itu akan berakibat umur cadangan makin lama.

System penambangan yang ada pada umumnya adalah :
1. Tambang Terbuka (Surface Mining)
Merupakan suatu system penambangan dimana seluruh aktifitas kerjanya berhubungan langsung dengan atmosfer atau udara luar. Berdasarkan macam material yang ditambang, maka tambang terbuka dibagi menjadi :
a. Open Pit/Open Cut/Open Cast/Open Mine
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan bijih yang mengandung logam. Contoh : Tambang Nikel di Pomalla, Sulawesi Tenggara, mineralnya Garnierite, Tambang Alumunium di Kijang Riau Kepulauan, mineralnya Gibbsite, Boechmite, Diaspore (Bauksite), Tambang Tembaga di Earthberg Irian Jaya, mineralnya Calcophyrite dan Cuprite, Tambang Timah di Pemali Bangka mineralnya Cassiterite, dll.
b. Quarry 
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan mineral industry (golongan C). Contoh : Tambang Batu Pualam di Tulung Agung Jawa Timur batuannya Marmer, Tambang Aspal di Pulau Buton batuannya batu gamping beraspal, Tambang Granit di Pulau Karimun batuannya granit, dll.
c. Strip Mine
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan bijih yang letaknya horizontal atau sedikit miring. Contoh : Tambang Batubara di Tanjung Enim Sumatera Selatan, Tambang Batubara di Ombilin Sawah Lunto Sumatera Barat mineralnya Bituminous Coal, dll.
d. Alluvial Mine
Suatu system penambangan yang diterapkan untuk endapan alluvial. Contoh : Tambang Bijih Timah di Bangka Belitung mineralnya Cassiterite, Tambang Bijih Besi di Cilacap mineralnya Magnetite, Hematite, Ilmenite, dll.

Berdasarkan cara penambangan yang dilakukan ada beberapa cara pembuangan O/B yang sesuai untuk tambang terbuka yaitu :
a. Back Filling, yaitu menimbun kembali tempat-tempat bekas penggalian yang sudah diambil ore nya.
b. Benching System, yaitu pengupasan O/B dengan system jenjang, system ini cocok untuk tanah penutup yang tebal dan bahan galian atau lapisan batubara yang tebal.
c. Multi Bucket Excavator System, yaitu pembuangan tanah penutup ketempat yang sudah digali batubaranya atau ketempat pembuangan khusus. Cara pengupasan ini mirip dengan cara Bucket Wheel Excavator (BWE), cocok untuk tanah penutup yang materialnya lunak dan tidak lengket.
d. Drag Scrapper System, cara ini biasanya langsung diikuti dengan pengambilan bahan galian setelah tanah penutupnya dibuang, tetapi bisa juga tanah penutupnya dihabiskan terlebih dahulu kemudian baru bahan galiannya ditambang, cocok untuk tanah penutup yang materialnya lunak/lepas (loose).
e. Cara konvensional, kombinasi alat gali (bulldozer), alat muat (track loader) dan alat angkut (dump truck).

2. Tambang Bawah Tanah (Underground Mining)
Suatu system penambangan dimana seluruh aktifitas kerjanya tidak berhubungan langsung dengan udara luar dan kegiatannya dilakukan dibawah tanah dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan bantu (adit). Berdasarkan cara penyanggaannya maka tambang bawah tanah dibagi menjadi :
a. Untuk Batubara
 Longwall Methode, dibagi 2 yaitu cara maju (advancing) dan cara maju (retreating)
 Room and Pillar Methode
b. Untuk Endapan Bijih/Logam
 Open Stope Methode, seperti underground gloryhole, gophering, shrinkage stoping, sublevel stoping
 Supported Methode, seperti cut and fill, stull stoping, shrink and full stoping
 Caving Methode, seperti top slicing, sub level caving, block caving

Perbandingan antara 2 metode penambangan tersebut adalah :
Tambang Terbuka 
1. Development sedikit
2. Stripping O/B banyak
3. Banyak lokasi untuk dumping area
4. Gangguan pada kemantapan lereng, kelongsoran
5. Kebisingan, polusi debu
6. Keselamatan kerja baik
7. Penggunaan alat lebih leluasa
8. Produktifitas dipengaruhi oleh iklim
9. Kedalaman penggalian dibatasi biaya SR O/B
10. Biaya reklamasi 
Tambang Bawah Tanah
1. Development : Shaft, bukaan-bukaan lain
2. Stripping O/B : Batubara ditambang dari bukaan kearah lapisan batubara
3. Banyak lokasi untuk dumping area : Tidak ada
4. Ambegan (subsident) berakibat pada instalasi diatasnya, gas beracun
5. Daerah terganggu pada sekeliling bukaan
6. Perlu ventilasi dan penerangan
7. Penggunaan alat Tidak leluasa
8. Semakin dalam temperatur naik
9. Kedalaman penggalian Tidak terbatasNGGU, 2009 APRIL 05

P