Jumat, 17 April 2009

keluar dari opec? dari dulu kek!


Pada akhir Mei, Indonesia menyatakan keluar dari organisasi negara pengekspor minyak (OPEC). Walaupun sebetulnya termasuk terlambat-karena Indonesia menjadi net importer minyak sejak 2003-keputusan yang diambil Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini merupakan sebuah langkah tepat.

Apalagi salah satu alasannya adalah penghematan anggaran sekitar 2 juta euro per tahun, yang selama ini dibayarkan hanya untuk iuran keanggotaan.

Namun, keputusan keluar dari OPEC saja tidaklah cukup. Pemerintah perlu melakukan banyak terobosan dalam meningkatkan produksi di sektor migas dan pertambangan hingga penyederhanaan prosedur dan iklim usaha migas dan pertambangan, seperti revisi Peraturan Menteri tentang Pengusahaan Migas a.l. kewajiban pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri, cost recovery dan perlindungan konsumen.

Selain membangun jaringan infrastruktur penyimpanan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan kilang minyak (kilang mini), serta pembangunan kilang jaringan pipa dan receiving terminal LNG & LPG. Hal penting lainnya yang juga harus segera dilakukan adalah diversifikasi energi seperti BBN (bahan bakar nabati) dan konversi energi.

Pertanyaannya, apakah langkah-langkah tersebut di atas sudah cukup? Jawabannya, belum. Karena kunci dari semua persoalan pengadaan BBM di dalam negeri, adalah 'tak tersentuhnya' (untouchable) perusahaan pelat merah yang bernama Pertamina dan lembaga pemerintah, BP Migas.

Pasalnya, Kepala Negara beserta wakilnya dan beberapa menteri terkait lainnya, seperti Menkeu dan Meneg BUMN saja, hanya mengetahui kinerja perusahaan pelat merah itu sebatas laporan.

Bahkan komisaris yang berada di dalam tubuh Pertamina saja mengalami kesulitan untuk mengetahui proses tender pengadaan minyak mentah yang sempat ramai, yakni Zatapi. Hasil pemeriksaan satuan internal bahkan menyatakan tidak terjadi pelanggaran dalam proses pengadaan minyak tersebut.

EITI & Inpres

Andai saja pemerintah di negeri ini mau menerapkan transparansi berupa Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), mungkin ceritanya akan berbeda. Di dalam Inpres No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 terdapat kebijakan yang mengatur tata kelola sektor migas dan pertambangan.

Program yang dicanangkan dalam Inpres itu adalah peningkatan transparansi dalam pengelolaan migas dan pertambangan.

Lalu apa tindakan yang akan diambil pemerintah? Tindakan yang diambil pemerintah a.l. kesepakatan bersama Menteri ESDM, Bappenas dan Departemen Keuangan berupa MoU.

Targetnya adalah makin membuat transparan pengelolaan fiskal sektor migas dan pertambangan. Lalu siapa penanggungjawabnya? Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.

Tindakan lainnya adalah menyusun peraturan bersama antara Menkeu dan Menteri ESDM dalam kerangka peningkatan transparansi dalam pengelolaan migas dan pertambangan. Produk keluarannya berupa Peraturan bersama Menkeu & Menteri ESDM, dan targetnya Desember 2008.

Apabila target penyelesaian program peningkatan transparansi tata kelola migas dan pertambangan direalisasikan pada akhir tahun ini, berarti proses produksi, pengadaan, tender, dan pendistribusian migas dan pertambangan akan semakin transparan pada 2009. Tak ada lagi kesan ditutupi apalagi untouchable.

Warisan Boediono

Mantan Menko Perekonomian Boediono-sebelum meninggalkan kantornya di Lapangan Banteng menuju Bank Indonesia-telah meninggalkan 'warisan berharga' yaitu berupa draf kebijakan tentang implementasi EITI.

Draf kebijakan itu disebut-sebut sudah dibahas dan difinalisasi oleh Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menteri ESDM pada Mei lalu.

Dalam draf itu juga disebutkan bahwa Dirut PT Pertamina dan Kepala BP Migas menjadi anggota dari Steering Group (SG) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.

Sayangnya, draf itu kini tersimpan rapih, entah di mana. Atau mungkin kelanjutan penyusunan draf tentang implementasi EITI harus menunggu pejabat menko perekonomian yang baru.

Apakah EITI itu? Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) adalah suatu inisiatif yang mempromosikan pelaporan secara sukarela atas pendapatan, royalti atau pembagian hasil industri tambang migas dan mineral yang disetorkan kepada pemerintah dan industri, di negara-negara yang bergantung pada sumber daya tersebut.

Sistem ini berawal saat Perdana Menteri Inggris meluncurkan EITI yang didukung oleh Bank Dunia pada 2002-2003. Mulai saat itu hingga 2005, terbentuklah sebuah koalisi internasional yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat sipil untuk memprakarsai EITI di beberapa negara.

Alhasil hingga sekarang terdapat lebih dari 26 negara penghasil tambang dan atau migas yang menjadi anggota EITI.

Pertanyaannya, apakah setelah keluar dari OPEC Indonesia akan ikut bergabung dalam koalisi internasional EITI dan menandatangani dokumen kesepahaman secara terbuka?

Jawabannya sangat bergantung pada kemauan dan komitmen dari pemerintah untuk melakukan transparansi, khususnya di sektor migas dan pertambangan.

Apabila sudah menandatangani kesepahaman, itu konsekuensi logisnya, semua yang terlibat dalam industri migas dan pertambangan harus bertindak transparan.

Mantan Menko Perekonomian Boediono dan menteri terkait lainnya diketahui telah membahas dan memfinalisasi draf kebijakan tentang implementasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Target penerapan EITI salah satunya adalah meminimalisasi 'kebocoran' di sektor migas dan pertambangan. Karena BP Migas dan perusahaan berpelat merah PT Pertamina selama ini seakan tak tersentuh.

BP Migas sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam pengusahaan minyak sangat tertutup kepada publik terkait dengan data-data produksi dan hanya membukanya dalam rapat-rapat panja yang tertutup di parlemen.

Atas desakan masyarakat, seiring merebaknya aroma 'tidak sedap' mengenai cost recovery, ada sedikit keterbukaan informasi itu kepada masyarakat.

BP Migas melansir data produksi Januari - April, yang nota bene rata-rata produksinya sudah di atas target, yaitu 977.000 barel per hari (bph). Meskipun sempat anjlok menjadi 955.847 bph pada Januari, produksinya naik pada level 980.000-an bph. Namun, sepertinya kesahihan data itu masih perlu diverifikasi dari badan-badan negara yang kredibel.

Ada sinyalemen, di mana hal itu juga perlu pembuktian terbalik, menyebutkan BP Migas ditengarai memasukkan minyak tank top untuk menutupi defisit lifting terhadap target. Lonjakan produksi lebih dari 30.000 bph dinilai terlalu fantastis apabila mendasarkan pada alasan BP Migas selama ini bahwa produksi sulit ditingkatkan karena lapangan umumnya sudah tua. Dari lapangan mana?

Sementara itu, banyak pihak juga mempertanyakan status minyak 'swap' sebanyak 50.000 barel per hari yang tidak bisa diuangkan untuk dimasukkan dalam pembukuan APBN.

Data Ditjen Migas soal arus minyak 2007 juga menggambarkan ilustrasi yang membingungkan, yang dalam rapat kerja bersama DPR pun tidak tuntas dijelaskan. Dalam data itu disebutkan produksi total setahun sekitar 348 juta barel, di mana 135 juta di antaranya diekspor dan 204 juta barel digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Ke mana 9 juta barel sisanya?

Dalam hal ini, prinsip dasar EITI adalah proses pelaporan menyeluruh yang ditulis dalam format baku oleh setiap perusahaan minyak, gas dan pertambangan, termasuk perusahaan milik negara.

Dengan begitu, setiap tetes minyak yang diproduksi akan terlihat jelas ke mana berceceran dan ke mana mengalir sehingga tampak nyata letak dan penyebab terjadinya inefisiensi.

Adapun, pokok dari isi pelaporan antara lain menyangkut seberapa banyak pendapatan, royalti ataupun pembagian hasil yang diterima dari setiap perusahaan minyak, gas dan tambang lainnya.

Prinsip EITI lainnya adalah mengangkat agregator independen yang bertugas memeriksa laporan dari industri dan pemerintah, serta membuat laporan yang menjelaskan apakah ada ketidaksesuaian atau tidak. Bagian terakhir dari proses ini publikasi atas laporan tersebut.

Setiap negara yang mendukung proses penerapan EITI harus menandatangani dokumen kesepahaman secara terbuka yang diwakili seorang menteri atau pejabat yang lebih tinggi. Saat ini terdapat sedikitnya 26 negara anggota EITI, di antaranya. Nigeria, Mauritania, Kamerun, Azerbaijan, Bolivia, Peru, Yemen, Kazakhstan, Ghana dan Guinea.

Sederet nama perusahaan minyak dan tambang kelas dunia juga memiliki dukungan yang kuat terhadap EITI seperti BHP Billiton, BP, Chevron Texaco, ConocoPhilips, Eni, ExxonMobil, Hess, Marathon, Newmont, Rio Tinto, Shell, StatoilHydro,Talisman dan Total.

Manfaat EITI bagi Indonesia
* Memperbaiki iklim investasi, khususnya sektor migas
* Memperbaiki regulasi penerimaan industri ekstraktif
* Mengembangkan pemahaman pemerintah dan masyarakat tentang migas
* Memperbaiki manajemen dana publik
* Memperkecil tindak korupsi
* Memperbaiki akuntabilitas
* Memperbaiki rasio tingkat utang luar negeri
* Membuka akses terhadap kapital
Tantangan EITI bagi Indonesia
* Kompleksitas menelusuri volume dan arus pembayaran migas
* Sering dicurigai sebagai alat penekan negara maju terhadap negara berkembang
* Adaptasi dengan budaya kerja baru
* Kerahasiaan data atau informasi dalam UU Migas & UU Pajak
Sumber: Dari berbagai sumber, diolah

Perkembangan produksi minyak bumi dan kondensat 2008
PeriodeProduksi 
(barel per hari)
Oktober-2007952.284
November-2007951.587
Desember-2007958.623
Januari-2008955.817
Februari-2008986.848
Maret-2008985.872
April-2008978.960
Mei-2008*982.550
Sumber: Ditjen Migas
Keterangan: * angka operasional sampai 11 Mei.

EITI di Nigeria

Penerapan EITI di Nigeria dapat menjadi ilustrasi betapa pentingnya inisiatif tersebut untuk menciptakan transparansi. Penerimaaan migas yang dibayar perusahaan dan yang diterima Pemerintah Nigeria pada 1999-2004 telah diagregasi dan dipublikasikan. Faktanya, tidak terjadi perbedaan besar antara nilai yang dibayarkan dan yang diterima, namun ada sejumlah besar minyak yang hilang.

Setelah melaksanakan EITI pada 2003, terjadi perbaikan iklim investasi yang ditandai dengan masuknya British Gas dengan nilai investasi US$4 miliar. Alhasil penerimaan sektor minyak bumi Nigeria meningkat US$2,2 miliar karena mengadopsi rekomendasi EITI. Bahkan, Overeign borrowing rates meningkat 0,5%.

Andai saja Indonesia menerapkan EITI, tentunya akan makin banyak investor migas dan tambang yang menanamkan modal di Tanah Air karena akan memberikan kesempatan bagi setiap pemodal di industri ekstraktif untuk memprediksi dengan lebih baik untung-ruginya, berdasarkan estimasi keuntungan yang harus dibayarkan ke pemerintah.

Dengan semakin banyak investor yang masuk, bukan mustahil Indonesia kembali menjadi pengekspor minyak dan kembali masuk menjadi anggota OPEC pada 2013, seperti yang ditargetkan Wapres M. Jusuf Kalla.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar